https://jazirah.times.co.id/
Economy

Rokok Memudar, BUMN Tak Pasti: Ke Mana Arah Fiskal Kita?

Tuesday, 17 June 2025 - 17:30
Rokok Memudar, BUMN Tak Pasti: Ke Mana Arah Fiskal Kita? Ilustrasi. (FOTO: dok. TIMES Indonesia)

TIMES JAZIRAH, JAKARTA – Indonesia menghadapi paradoks unik dalam sumber penerimaan negaranya. Di satu sisi, cukai rokok telah menjadi “mesin uang” APBN selama bertahun-tahun. Di sisi lain, dividen BUMN muncul sebagai kuda hitam baru, menyumbang setoran yang kian besar ke kas negara.

Bagaimana proyeksi penerimaan fiskal Indonesia ke depan jika (hanya) mengandalkan dua sumber ini? Cukai rokok vs dividen BUMN, siapa yang menang dalam jangka menengah hingga panjang (menuju Indonesia Emas 2045)?

Berikut news analysis dari Digital Data Journalist TIMES Indonesia, M. Rifky Rezfany, yang juga mahasiswa Statistika ITS Surabaya.

Tren Global: Beralih dari Pajak Rokok, Optimalisasi Aset Negara

Secara global, tren penerimaan fiskal mulai bergeser. Banyak negara maju perlahan mengurangi ketergantungan pada cukai rokok seiring turunnya prevalensi merokok. Implementasi kebijakan kesehatan publik berhasil menekan konsumsi tembakau.

Dalam 20 tahun sejak regulasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) diberlakukan, prevalensi merokok dunia dilaporkan turun hingga sepertiga. Negara-negara seperti Selandia Baru bahkan sempat merencanakan generasi bebas rokok dengan melarang penjualan rokok untuk penduduk yang lahir setelah tahun tertentu. Artinya, di jangka panjang, basis pemajakannya dipastikan akan menyusut.

Bagi banyak pemerintah, pajak konsumsi umum (seperti PPN) dan pajak penghasilan kini menjadi tulang punggung anggaran ketimbang cukai rokok. Contoh, di Amerika Serikat penjualan rokok menurun 27% hanya dalam 6 tahun (2015–2021), dari 12,5 miliar bungkus menjadi 9,1 miliar bungkus sehingga kontribusi cukai tembakau terhadap anggaran negara bagian pun menciut.

Eropa juga terus menaikkan tarif cukai sambil menyiapkan aturan baru untuk mengantisipasi penurunan konsumsi. Secara global, kenaikan pajak rokok tetap dilakukan demi pengendalian konsumsi. Namun para pembuat kebijakan sadar bahwa basis pajak ini tidak bisa selamanya diandalkan.

Sementara itu, tren global lain adalah optimalisasi pendapatan dari aset negara. Banyak negara mulai memanfaatkan dividen perusahaan negara atau sovereign wealth funds sebagai sumber pembiayaan inovatif.

Misalnya, Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia mengelola portofolio BUMN untuk menghasilkan dividen dan capital gain bagi negara. Tiongkok belakangan ini juga mendorong BUMN mereka membayar dividen lebih tinggi kepada negara untuk menambal kebutuhan fiskal daerah.

Itu artinya, secara global pendapatan dari aset negara (dividen, laba investasi) menjadi elemen penting, meski biasanya masih di bawah kontribusi pajak konvensional.

Tren global tersebut memberi pelajaran penting. Ke depan, pemasukan fiskal berkelanjutan harus bersandar pada basis yang luas (pajak umum) sembari mengoptimalkan sumber alternatif (dividen BUMN, pajak karbon, dll.). Alih-alih mengandalkan pajak dari konsumsi barang yang kian dibatasi seperti rokok.

Kontribusi Cukai Rokok vs Dividen BUMN

Bagaimana posisi Indonesia saat ini? Tak bisa dipungkiri, cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok adalah salah satu penyumbang terbesar kas negara. Tahun 2023, realisasi penerimaan cukai tembus Rp221,8 triliun. Angka ini memang sedikit melambat (turun ~2,2% dari 2022) karena produksi rokok menurun imbas kenaikan tarif dan pengendalian konsumsi.

Meski begitu, secara nominal cukai rokok masih sangat dominan. Pada 2024, total penerimaan cukai mencapai Rp226,4 triliun, dan Rp216,9 triliun atau sekitar 95% di antaranya berasal dari cukai hasil tembakau.

Dominasi serupa sudah berlangsung lama. Pada 2015 pun rokok menyumbang 96% dari total cukai negara. Inilah realitas ketergantungan APBN pada cukai rokok.

Uang dari perokok ibarat “napas” bagi anggaran, meski di sisi lain rokok membawa beban kesehatan publik.

Pemerintah sebenarnya menyadari paradoks ini. Sejak 2016 diwacanakan penambahan objek cukai baru (plastik, minuman manis, BBM) untuk mengurangi ketergantungan pada rokok. Namun hingga kini rokok tetap rajanya pendapatan cukai.

Sumber besar kedua yang kian bersinar adalah dividen BUMN. Dahulu pos ini relatif kecil, tapi belakangan nilainya melonjak. Tahun anggaran 2023, BUMN menyetor dividen Rp82,06 triliun ke negara, melampaui target (100,6% dari target APBN Rp81,5 T). Luar biasanya, angka ini naik 102% dibanding setoran dividen 2022.

Laba BUMN, terutama bank-bank milik negara dan Pertamina, meroket pasca-pandemi sehingga setoran dividennya ikut terdongkrak.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo bahkan menyebut total kontribusi BUMN (termasuk pajak, dividen, PNBP lain) mencapai Rp636 triliun pada 2023, sekitar 20% dari pendapatan negara tahun itu. Artinya, satu lima rupiah di APBN 2023 berasal dari aktivitas BUMN.

Para “juragan” BUMN seperti BRI, Pertamina, Mandiri, Telkom, hingga MIND ID menjadi penyumbang utama dividen negara, dengan BRI teratas (Rp23,2 T) dan Pertamina kedua (Rp14 T).

Dibanding cukai rokok, nominal dividen BUMN memang masih sepertiganya. Namun tren pertumbuhan dividen yang spektakuler ini menandai era baru. Pemerintah mulai bisa “memanen” hasil dari transformasi BUMN.

Pertanyaan kuncinya, mana yang lebih berkelanjutan untuk jangka panjang, terus mengandalkan cukai rokok, atau menggali potensi dividen BUMN? Mari kita bedah lebih lanjut.

Paradoks Keberlanjutan, Merokok vs Bagi Laba

Cukai rokok ibarat dua sisi mata uang bagi Indonesia. Selama ini ia penolong APBN di tengah tax ratio yang masih rendah. Keberadaannya mudah dipungut dan selalu ada pasarnya.

Namun, sustainability-nya dipertanyakan. Basis cukai rokok tidak akan tumbuh selamanya. Prevalensi merokok global turun, dan Indonesia pun tak luput dari tekanan kesehatan.

Jika kampanye anti-rokok berhasil, konsumsi bisa stagnan atau turun. Bahkan tanpa intervensi masif pun, kita melihat tanda-tanda pertumbuhan produksi rokok melambat.

Pemerintah setiap tahun menaikkan tarif cukai 5-10%, yang jangka pendek menaikkan pendapatan, tapi jangka panjang bisa menggerus volume lewat kenaikan harga dan munculnya rokok ilegal. Ketergantungan fiskal pada produk yang konsumsinya ingin ditekan jelas tidak ideal.

Kebijakan fiskal jadi serba salah. Ingin menaikkan cukai demi penerimaan, tapi juga tak mau masyarakat makin banyak merokok.

Dalam jangka menengah, mungkin cukai rokok masih bisa diandalkan. Toh kebutuhan APBN mendesak dan alternatif belum sebesar itu. Namun menuju 2045, mengandalkan rokok sebagai “mesin uang” negara ibarat mengandalkan sunset industry.

Bukan hanya basisnya bisa menyusut, tetapi secara moral pun menimbulkan ironi. Pembangunan negara dibiayai oleh sesuatu yang membahayakan kesehatan rakyatnya.

Dividen BUMN menawarkan janji keberlanjutan yang berbeda. Sumber ini berasal dari aktivitas ekonomi riil, seperti laba bank, penjualan minyak, layanan telekomunikasi, tambang, dll.

Semakin ekonomi tumbuh dan BUMN bertransformasi efisien, potensi labanya meningkat, begitu pula dividennya. Tahun 2023 menjadi bukti: dengan ekonomi tumbuh 5% lebih, setoran dividen melonjak dua kali lipat. Secara konseptual, dividen BUMN bisa berkelanjutan jika perusahaan-perusahaan negara tersebut terus berkembang, berekspansi, dan beradaptasi.

Tidak ada upper limit seperti halnya konsumsi rokok (yang dibatasi kesehatan). Bahkan BUMN bisa mencari sumber pendapatan baru di era digital, misalnya Telkom dengan bisnis data center, PLN dengan energi baru terbarukan, dll. Negara maju pun umumnya tetap memetik dividen dari perusahaan strategisnya (misal Norway dari Equinor, Saudi dari Aramco, dll.).

Namun, mengandalkan BUMN juga ada risikonya. Pertama, tidak semua tahun untung. Kalau ekonomi lesu atau harga komoditas jatuh, laba BUMN sektor terkait bisa anjlok dan dividen menyusut.

Kedua, penetapan target dividen yang terlalu agresif bisa blunder. DPR sudah mengingatkan, pemerintah harus realistis menetapkan target dividen agar tidak membebani BUMN dan stabilitas ekonomi. Bila BUMN dipaksa setor laba maksimal terus-menerus, mereka bisa kekurangan modal untuk ekspansi, ujungnya kinerja jangka panjang menurun. Ini ibarat memerah sapi perah tanpa diberi makan cukup.

Jadi pemerintah perlu keseimbangan. Memetik laba wajar tanpa menggerogoti kemampuan tumbuh BUMN.

Di sisi lain, ada inisiatif baru bernama Danantara, semacam super holding yang akan mengumpulkan dividen BUMN untuk diinvestasikan kembali pada proyek strategis. Artinya, boleh jadi ke depan sebagian dividen tidak langsung masuk APBN sebagai penerimaan, melainkan diputarkan lewat Dana Investasi.

Kebijakan ini bertujuan multiplier effect jangka panjang. Tapi jangka pendek berarti APBN mungkin tak bisa lagi mengandalkan lonjakan dividen sebesar 2023 karena sebagian dialihkan untuk investasi.

Ini menambah alasan bahwa dividen BUMN sekalipun bukan solusi tunggal. Penggunaannya harus diatur bijak antara kebutuhan kas negara vs kebutuhan investasi.

Jika harus memilih, mana yang lebih sustainable? Dividen BUMN cenderung lebih menjanjikan sebagai sumber jangka panjang karena berasal dari produktivitas ekonomi, bukan konsumsi yang ingin diturunkan.

Mengandalkan cukai rokok untuk sustainability jelas paradoks. Keberlanjutan APBN justru jadi “mengharap rakyat terus merokok”, sebuah visi yang kontradiktif dengan Indonesia Sehat 2045.

Namun, idealnya kita tidak terjebak memilih salah satu secara mutlak. Keduanya sebaiknya dilihat sebagai sumber transisi menuju struktur penerimaan negara yang lebih kokoh dan sehat. Dalam jangka menengah (5-10 tahun ke depan), cukai rokok mungkin masih jadi tumpuan sambil pelan-pelan diturunkan porsi relative-nya.

Dividen BUMN dapat ditingkatkan perannya, namun harus paralel dengan reformasi perpajakan agar sumber utama pendapatan negara nantinya berasal dari basis yang lebih luas (pajak).

Menuju 2045: Apa Sumber Pemasukan Fiskal Terbesar Indonesia?

Visi Indonesia Emas 2045 membayangkan Indonesia sebagai negara maju dengan ekonomi ranking 4-5 dunia. Di skenario tersebut, komposisi pemasukan fiskal kita akan mendekati pola negara maju: dominan dari pajak pendapatan dan konsumsi, bukan lagi tergantung komoditas atau cukai sin tax.

Bahkan saat ini pun, sebenarnya kontributor terbesar APBN Indonesia adalah pajak-pajak utama. Pada 2023, pajak penghasilan (PPh) non-migas mencapai Rp993 triliun – ini komponen terbesar penerimaan pajak. Disusul PPN & PPnBM Rp764 triliun. Jika ditambah pajak daerah dan lain-lain, terlihat bahwa pajak secara umum sudah jauh melampaui penerimaan cukai.

Ke depan, tren ini akan makin jelas. Dengan target pemerintah menaikkan tax ratio ke 15-20% PDB dalam 20 tahun ke depan, praktis pertumbuhan utama ada di sektor pajak non-cukai. Bank Dunia sudah mengingatkan bahwa Indonesia perlu meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan untuk mencapai status negara maju 2045.

Artinya, sumber terbesar di 2045 hampir pasti adalah pajak-pajak konvensional, seperti PPN (karena konsumsi domestik raksasa seiring pendapatan per kapita naik), PPh orang pribadi (karena kelas menengah membesar, pendapatan warga meningkat), serta PPh badan (karena semakin banyak perusahaan kelas dunia lahir di Indonesia).

Cukai rokok di 2045 kemungkinan justru turun peranan-nya. Bisa jadi nilainya nominal masih tinggi, namun sebagai persentase dari total penerimaan akan kecil. Sebab di negara maju, cukai rokok biasanya <1-2% dari total penerimaan. Jika visi kesehatan berhasil, perokok menurun dan mungkin cukai rokok 20 tahun lagi hanya secuil dari total APBN.

Dividen BUMN di 2045? Ini menarik. Jika BUMN-BUMN kita berevolusi menjadi konglomerat global, kontribusinya bisa besar.

Namun barangkali bukan dalam bentuk disetor tunai seluruhnya ke APBN; mungkin lewat sovereign fund atau re-investasi. Kontribusi BUMN bisa juga muncul dalam bentuk pajak atas profit mereka (karena BUMN juga bayar pajak penghasilan badan).

Jadi prediksi kami, pemasukan fiskal terbesar Indonesia di era 2045 adalah tetap dari pajak umum (terutama PPN dan PPh) – seperti halnya negara G20 lain – dengan dividen BUMN menjadi penopang penting, sementara cukai rokok tergeser ke posisi sekunder atau tersier.

Namun, ada pula potensi sumber baru yang kini mulai tampak dan pada 2045 bisa signifikan: pajak karbon dan pajak lingkungan. Dengan ekonomi bertransformasi hijau, Indonesia bisa mendapat pemasukan besar dari pajak karbon, retribusi pemakaian sumber daya alam terbarukan, dan sebagainya.

Ekonomi digital juga akan jadi ladang pajak (Pajak transaksi digital, PPN e-commerce, dll). Demikian pula pajak properti seiring urbanisasi dan nilai tanah naik dapat menjadi salah satu andalan di masa depan. Intinya, struktur penerimaan 2045 akan lebih beragam dan berimbang, tidak jomplang pada satu-dua komponen saja.

Strategi Mencapai Penerimaan Fiskal Berkelanjutan

Bagaimana strategi menuju ke sana? Berikut langkah-langkah yang perlu dijalankan agar proyeksi di atas terwujud dan fiskal Indonesia berkelanjutan:

Pertama, reformasi perpajakan menyeluruh. Melanjutkan upaya memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan.

Digitalisasi administrasi pajak, integrasi data, dan joint-program DJP-DJBC yang sudah dijalankan harus diperkuat. Targetnya tax ratio naik signifikan dari ~10% PDB saat ini menuju level 15%+ di 2030-an.

Ini mencakup peningkatan PPN (mengurangi pengecualian barang/jasa, menaikkan tarif PPN ke 12% atau lebih sesuai UU HPP), serta optimalisasi PPh (memperluas wajib pajak orang pribadi, memajaki ekonomi digital dan sektor informal yang bertransformasi formal). Dengan ekonomi tumbuh stabil ~5%, rasio pajak segitu realistis dikejar, apalagi jika didukung kemauan politik yang kuat.

Kedua, diversifikasi objek cukai. Sambil pelan-pelan mengurangi ketergantungan pada cukai rokok, pemerintah perlu memperluas objek cukai baru. Cukai minuman berpemanis, plastik sekali pakai, emisi karbon, hingga BBM fosil bisa menjadi ladang penerimaan sekaligus instrumen mengubah perilaku.

Pemerintah Indonesia sudah ada rencana ke arah ini. Tinggal direalisasikan konsisten. Dengan diversifikasi, bila cukai rokok menurun, penerimaan cukai lain bisa mengisi celahnya. Tentu nilainya mungkin tak langsung sebesar rokok, tapi setidaknya basis cukai lebih sehat dan berkelanjutan (karena terkait lingkungan dan kesehatan jangka panjang).

Ketiga, strategi cukai rokok bertahap. Dalam jangka menengah, cukai rokok masih perlu dinaikkan terukur. Ibarat penurunan dosis, ketergantungan APBN pada rokok harus dikurangi secara bertahap, bukan mendadak.

Pemerintah bisa terus menaikkan tarif cukai di atas inflasi (misal 10% per tahun), namun dengan memperhatikan laffer curve agar tidak memicu lonjakan rokok ilegal. Pendapatan cukai yang ada sebaiknya dialokasikan sebagian untuk program kesehatan dan diversifikasi ekonomi di daerah penghasil tembakau, sehingga pada waktunya nanti kontribusi rokok menurun, dampaknya ke ekonomi dan petani tembakau bisa tertangani.

Dengan kata lain, sudahi paradoks rokok sebagai penyelamat APBN secara perlahan, sambil menjaga kepentingan kesehatan dan tenaga kerja.

Keempat, transformasi BUMN berlanjut. Dividen BUMN akan optimal hanya jika BUMN-nya sehat dan untung. Jadi kunci strateginya adalah melanjutkan reformasi BUMN: perbaiki tata kelola, efisiensi, dan fokus bisnis.

BUMN harus didorong berdaya saing global. Tidak jadi beban. Pemerintah bisa mencontoh model beberapa negara dengan merestrukturisasi kepemilikan BUMN (misal pembentukan holding seperti Danantara) agar investasi lintas sektor lebih lincah.

Namun, hati-hati dalam target dividen: tetapkan secara realistis dan fleksibel. Misalnya, di tahun laba tinggi (boom komoditas), boleh ambil dividen ekstra; tapi di tahun ekspansi atau krisis, jangan paksa setoran tinggi. Seperti diingatkan kajian parlemen, terlalu memforsir dividen bisa jadi bumerang bagi ekonomi.

Sebaiknya buat kerangka jangka panjang: misal target dividen BUMN tumbuh sejalan pertumbuhan laba rata-rata 5-10% per tahun, tanpa langkah abrupt. Dan jika Danantara berjalan, perlu transparansi agar hasil investasinya tetap bermuara ke kesejahteraan rakyat (baik langsung ke APBN di masa depan atau tidak langsung lewat pembangunan).

Kelima, mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. Pada akhirnya, penerimaan negara adalah cerminan aktivitas ekonomi. Untuk mencapai penerimaan pajak tinggi, ekonomi Indonesia harus tumbuh kuat dan merata.

Strategi hilirisasi (downstream) yang memberi nilai tambah ekspor harus dilanjutkan agar basis pajak industri manufaktur bangkit kembali (saat ini kontribusi industri ke PDB turun dari 29% di 2001 jadi 17% di 2024, harus dibalik arahnya). Menguatkan kelas menengah (agar basis pembayar PPh OP naik) juga penting. Misal dengan investasi di pendidikan dan penciptaan lapangan kerja formal.

Formalisasi sektor informal (yang masih 60% tenaga kerja!) akan otomatis memperluas basis pajak dan iuran. Intinya, tanpa ekonomi yang ekspansif dan sehat, upaya di sisi penerimaan akan sulit. Maka kebijakan fiskal dan ekonomi makro harus selaras: jaga iklim investasi, stabilitas inflasi, dan kepercayaan investor agar target pertumbuhan (misal 6-8% di 2030-an) tercapai. Ekonomi tumbuh tinggi plus tax ratio naik, itulah rumus ampuh membesarkan penerimaan negara secara sustainable.

Keenam, antisipasi perubahan tren (Future-proof):l. Pemerintah perlu visioner melihat tren masa depan yang bisa memengaruhi penerimaan. Misal, dengan transisi energi, di 2045 penerimaan dari minyak bumi (migas) kemungkinan menurun. Harus diganti pajak listrik atau kendaraan listrik.

Digitalisasi bisa menggerus pajak model lama (contoh: pajak telekomunikasi mungkin berkurang saat semuanya beralih ke internet), jadi perlu bentuk pajak baru untuk ekonomi digital. Aging population (populasi menua) di 2045 juga bisa mengurangi penerimaan PPh kalau porsi penduduk produktif menurun. Ini harus diantisipasi dengan kebijakan demografi dan diversifikasi pembiayaan pensiun.

Fiskal yang tahan banting berarti sejak sekarang merancang sistem pajak yang luwes dan adil menghadapi perubahan struktur ekonomi, teknologi, dan demografi.

Menggenjot Kemauan, Menata Masa Depan

Pada akhirnya, fiskal Indonesia memasuki babak penting transformasi. Saat ini, cukai rokok dan dividen BUMN ibarat dua pilar utama yang menopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pilar pertama—cukai rokok—telah lama menjadi andalan, meskipun kontroversial karena dampaknya terhadap kesehatan. Pilar kedua—dividen BUMN—lebih modern, namun belum stabil dan masih berfluktuasi mengikuti kinerja korporasi negara.

Dalam jangka menengah, kedua pilar ini masih sangat diperlukan. Cukai hasil tembakau (CHT) sendiri menyumbang sekitar 9–10% dari total penerimaan perpajakan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, dividen BUMN menyumbang sekitar Rp 80–90 triliun ke kas negara per tahun, namun dengan ketergantungan tinggi pada kinerja perusahaan besar seperti Bank Mandiri, BRI, dan Pertamina.

Namun, visi 2045 mengharuskan pilar-pilar baru yang lebih kuat. Pajak yang digali dari ekonomi yang tumbuh inklusif, dari rakyat yang makin sejahtera, dari bisnis yang makin menggeliat, serta dari aktivitas yang tidak mengorbankan kesehatan atau masa depan lingkungan. Sumber penerimaan terbesar Indonesia di masa depan bukan lagi rokok, melainkan rakyatnya yang produktif yang membayar pajak adil.

Untuk menjawab visi Indonesia Emas 2045, Indonesia harus membangun pilar-pilar fiskal baru yang lebih sehat dan berkelanjutan. Sumber utama APBN ke depan seharusnya berasal dari pajak yang digali dari ekonomi produktif: usaha mikro yang naik kelas, sektor informal yang terdigitalisasi, industri yang lebih hijau, serta masyarakat yang makin sejahtera dan patuh pajak.

Pemerintah menargetkan rasio pajak (tax ratio) Indonesia meningkat dari level stagnan sekitar 10–11% menjadi 18% atau lebih pada 2045. Artinya, kekuatan fiskal masa depan harus bersandar pada rakyat yang produktif, bukan pada rokok atau sumber destruktif lainnya.

Apakah cukai rokok akan hilang sama sekali? Tidak. Namun idealnya, pada 2045, pos ini hanya menjadi pelengkap kecil dalam struktur APBN. Negara tak lagi menggantungkan pembiayaan pembangunan pada konsumsi produk adiktif yang membebani sistem kesehatan.

Saat itulah, Indonesia benar-benar mandiri secara fiskal—meninggalkan era di mana “merokok” adalah cara membiayai pembangunan. Dengan strategi yang tepat, pundi-pundi negara ke depan akan lebih besar, lebih bersih, dan lebih adil. (*)

Referensi:

  • Sri Mulyani, Konferensi Pers APBN 2023 – Bea Cukai (05 Jan 2024)
  • DJBC, Kinerja Penerimaan Bea Cukai 2024 (13 Jan 2025)
  • GoodStats, “BRI BUMN Setoran Dividen Terbesar 2023” (22 Jul 2024)
  • Bisnis.com, “Penerimaan Cukai Hasil Tembakau 2023 Susut” (19 Jan 2024)
  • BPK Aceh, “Cukai Rokok Bukan Lagi Andalan Penerimaan” (Kompas, 2016)
  • Pusat Analisis DPR RI, “Proyeksi Setoran Dividen BUMN 2024” (Agus 2023)
  • MFAT Selandia Baru, “Indonesia’s Economic Plans – March 2025”
  • DJP Kemenkeu, “Statistik Penerimaan Pajak 2023”
  • WHO, “Global Tobacco Control Progress” (1 Jun 2025)
  • CDC, “Economic Trends in Tobacco” (2022)
Writer : Rochmat Shobirin
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Latest News

icon TIMES Jazirah just now

Welcome to TIMES Jazirah

TIMES Jazirah is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.