TIMES JAZIRAH, JAKARTA – Sebuah ironi usang yang menggelikan. Bagaimana mungkin tagline atau slogan yang termuat dalam alat peraga kampanye (APK) sebagai iklan jalanan bertentangan dengan perilaku kontestan, yang terang-terangan merusak visual kota dan norma ruang publik dengan cara memaku pohon pelindung jalan, bahkan dapat menambah volume sampah yang sulit didaur ulang.
Terhadap fenomena ini, saya mau bercerita sedikit tentang pandangan mendiang Henry Sampson, salah seorang jurnalis kelahiran Inggris 1841, pernah menerbitkan buku History of Advertising from the Early Times (1874) setebal 600 halaman, yang diulas Samuel Halleran, seorang seniman sekaligus peneliti tinggal di Melbourne, Australia, dalam artikelnya The Stealthy Politics of Urban Advertising (2021).
Kurang lebih dalam ulasan itu Halleran menceritakan, bahwa Sampson menelusuri sejarah panjang periklanan jalanan, mulai dari tanda yang diukir di batu, di papirus, dari zaman kekaisaran Roma dan di Thebes; kemudian tentang pembawa berita kota abad pertengahan; hingga sirap yang digantung di luar toko dan penginapan, termasuk dengan piktogram yang menunjukkan layanan yang ditawarkan di dalamnya.
Sampson menyebut hal itu sebagai salah satu “institusi relatif modern” yang mengajarkan masyarakat untuk melek huruf. Namun, banyak yang kemudian mengkritisi ketika semua cara-cara periklanan seperti itu telah tergantikan dengan penggunaan stiker, dan jenis periklanan komersial lain yang sangat kejam.
Kekejaman itu menurut Sampson karena tidak peduli terhadap privasi dinding kosong, tempat tinggal atau jalanan kota. Lanjutnya, jenis publisitas semacam ini jauh ketika pada abad pertengahan telah dikecam karena dianggap sebagai momok yang merusak tatanan kota, sekaligus mengancam kesopanan masyarakat.
Ulasan Halleran di atas juga dapat kita lihat dalam bentuk kampanye pada momentum perhelatan politik elektoral di Indonesia hari-hari ini, yakni terpampang ramai APK yang dianggap lebih efektif setiap lima tahun sekali untuk mengkomunikasikan pesan-pesan perubahan. Namun hasil riset membuktikan sebaliknya, misalnya oleh Praxis Indonesia menyebut pola komunikasi para politisi sejauh ini belum memberi banyak perubahan.
Selain itu, model komunikasi yang memadukan teknik online maupun offline sekalipun belum memberi kesan yang baik, karena kontennya tidak mengeksplorasi konteks yang lebih substantif, relevan, dan up-to-date. Lagi-lagi sangat tergantung pada kemampuan para kandidat, yang sejauh ini hanya sekadar membranding diri (self branding) tanpa mengisi dengan pesan politik yang edukatif (M. Akbar, 2024).
Dalam praktiknya memang demikian, kampanye politik melalui metode pemasangan APK tanpa mempertimbangkan dasar etis, menurut saya hal itu merupakan tindakan vandalisme. Para kandidat berupaya menggempur kota untuk menarik simpati, tetapi justru cenderung pada perusakan nilai estetis ruang publik. Cukup disayangkan, mereka merancang strategi politik tanpa kompas moralitas sehingga tidak menampakkan integritas.
Sederhananya, istilah vandalisme dapat disebut perbuatan melawan hukum jika memenuhi unsur perusakan atau penghancuran dalam hukum positif. Scharfsteun dan Gaurf dalam bukunya Vision 20-2020 and the Menace of Vandalism (2013) menguraikan vandalisme merupakan tindakan perusakan atau penghancuran terhadap suatu struktur, simbol maupun hal-hal yang bersifat melawan atau bertentangan dari keinginan pemilik.
Di sini, kota adalah milik publik. Rakyat merupakan subjek yang berhak atas kepemilikan seisi kota dan berkewajiban melindungi seluruh properti di dalamnya. Ketika estetika sebuah kota dihancurkan akibat pemasangan APK milik para politisi, maka para politisi ini mestinya dihukum karena telah memicu “polusi visual” dan tidak memberi teladan yang baik.
Di satu sisi tindakan vandalisme perlu ditafsirkan secara ekstensif, bahwa selain pemasangan APK secara serampangan pun pesan-pesan gimmick yang tertuang di dalamnya merupakan tindakan perusakan terhadap nilai dasar cita-cita politik, karena hanya pepesan kosong tanpa pencerahan sama sekali. Misalnya mengklaim diri cerdas, jujur, tegas, amanah, komitmen, dll. Di samping itu, juga merusak citra dan kebajikan politik yang hakikatnya mengelola kebijakan kewarganegaraan.
Sementara, alasan hukum paling keliru ialah sebagaimana tertuang dalam aturan kampanye yang menyebutkan APK merupakan salah satu komponen bagi para peserta pemilu untuk mensosialisasikan diri agar dikenal publik. Padahal era di mana dunia semakin transparan dan maju ini, seharusnya pola sosialisasi maupun kampanye semacam itu sudah ditinggalkan, berikut diikuti dengan perubahan aturan.
Perkembangan digital yang semakin canggih, mulai dari penggunaan artificial intelligence, big data, media sosial, situs web, dll, yang dapat dilakukan melalui ponsel pintar harus dimaksimalkan, bukan sekadar memamerkan lebih banyak kehidupan pribadi politisi yang merusak selera dan merendahkan martabat publik.
Karena itulah, proposisi saya dalam tulisan ini adalah sebagai argumen etis untuk mengurai kepentingan fundamental politisi yang membuat pembenaran akan dinamika demokrasi. Alasan pembenaran itu bagi politisi berasumsi bahwa pemasangan APK di ruang publik merupakan pendidikan politik dalam demokrasi untuk meraup suara terbanyak.
Bagi saya, apapun alasannya, politisi yang merusak visual kota melalui APK adalah pelaku utama yang layak mendapat sanksi. Apa yang dilarang oleh aturan memang hakikatnya tidak boleh dilanggar oleh semua orang, tetapi larangan itu tidak dapat dibangun atas dasar siapa yang hendak memiliki kepentingan dengan kekuasaan.
Meski demikian, kita perlu menciptakan suasana politik yang jauh dari tradisi semacam ini. Paling tidak semesta hukum yang sedemikian luas ini harus mampu mencegah para politisi yang berupaya melatih masyarakat untuk menerima pesan-pesan ketidakjujuran melalui APK. Itulah mengapa David Ogilvy, bapak periklanan modern sangat menentang berbagai bentuk iklan politik.
Dia pernah mengungkapkan, “Political advertising ought to be stopped. It's the only really dishonest kind of advertising that's left. It's totally dishonest.” Karena itu saya yakin, rakyat akan lebih memilih siapa yang lebih layak untuk bangsa dan negara ke depan.
***
*) Oleh : Igrissa Majid, Alumni Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Writer | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |