TIMES JAZIRAH, JAKARTA – Penelitian asal-usul COVID-19 terus berlanjut sampai saat ini. Pertanyaan yang ingin dijawab oleh banyak peneliti dan ilmuwan adalah: benarkah COVID-19 berasal dari kelelawar atau hewan lain?
Sebuah studi terbaru yang memanfaatkan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan (max-logistic intelligence) menemukan hal yang mengejutkan: COVID-19 mungkin tidak berasal dari kelelawar. Melainkan dari gabungan dua penyakit yang sangat langka terjadi pada manusia.
Studi terbaru yang terbit di Advances in Biomarker Sciences and Technology (ABST) itu, menggunakan pendekatan revolusioner berbasis AI untuk mengetahui asal COVID-19.
Dipimpin oleh Zhengjun Zhang dari Universitas Wisconsin, penelitian berjudul “Etiological connections between initial COVID-19 and two rare infectious diseases” ini mengungkap kaitan genetik kuat antara COVID-19 dengan dua penyakit langka yang terjadi pada manusia. Yakni Glanders dan Demam Sennetsu.
Glanders adalah infeksi bakteri langka yang biasanya menyerang kuda. Oleh karena itu, glanders sering disebut penyakit malware kuda.
Apakah glanders ini bisa menular ke manusia? Ya, beberapa kasus memang terjadi, tapi sangat jarang. Biasanya, pola penularannya dari hewan terinfeksi (terutama kuda, keledai, atau bagal) ke manusia melalui kontak langsung dengan cairan tubuh hewan atau kulit yang terluka.
Bila glanders menyerang manusia, bisanya gejala umum yang terlihat berupa demam tinggi, nyeri otot, bisul kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, hingga infeksi paru-paru. Bisa berakibat fatal jika tidak diobati dengan segera.
Yang menarik, bakteri glanders ternyata pernah digunakan sebagai senjata biologis pada Perang Dunia I lalu.
Kasus glanders terakhir dilaporkan terjadi di Asia dan Afrika. Saat ini, kasus glanders sudah mulai hilang di dunia seiring berkembangnya vaksinasi hewan.
Sementara Demam Sennetsu adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Sennetsu. Bakteri langka itu nama ilmiahnya adalah Neorickettsia sennetsu.
Demam Sennetsu pertama kali diidentifikasi di Jepang tahun 1954 lalu dan sering disebut mononucleosis versi Asia. Kasus demam ini banyak terjadi di Asia Timur (Jepang, Malaysia) dan jarang dilaporkan di luar wilayah tersebut.
Manusia yang terkena demam ini gejalanya mirip seperti terserang flu seperti demam, sakit kepala, lemas, dan pembengkakan kelenjar getah bening. Bisa diobati dengan antibiotik.
Demam ini pola penularannya melalui konsumsi ikan mentah yang terkontaminasi atau parasit dalam ikan. Demam ini tidak menular antarmanusia.
Lalu, Apa Hubungannya dengan COVID-19?
Menurut studi AI tersebut, pola metilasi DNA COVID-19 menunjukkan kemiripan dengan gabungan genetik dari glanders, demam Sennetsu dan penyakit umum yang terjadi pada manusia (seperti flu misalnya).
Kombinasi kesalahan genetik alami dari penyakit-penyakit ini, ada kemungkinan menciptakan virus SARS-CoV-2. Tapi, temuan ini masih bersifat hipotesis. Belum ada bukti langsung bahwa kedua penyakit tersebut bersatu menjadi COVID-19.
Penelitian ini hanya menganalisis korelasi pola DNA, bukan membuktikan penyebab langsung COVID-19. Asal-usul COVID-19 masih tetap diperdebatkan, dan penelitian lanjutan tetap diperlukan sampai saat ini.
Setidaknya, temuan ini menggeser teori sebelumnya yang menyebut kelelawar atau trenggiling sebagai sumber virus.
Apa itu Max-Logistic Intelligence?
Metode max-logistic intelligence sebelumnya sukses digunakan dalam studi kanker.
Berbeda dengan AI konvensional atau teknik machine learning seperti deep learning, pendekatan ini lebih mudah diinterpretasi, konsisten, tangguh dan cocok untuk membuktikan hubungan sebab-akibat.
Zhengjun Zhang menekankan terkait hasil peneletiannya bahwa banyak penanda genetik yang ditemukan dalam studi terpisah sering gagal saat diuji pada kelompok lain. Namun, setelah dilakukan analisis metilasi DNA (proses kimia yang memengaruhi ekspresi gen) dalam penelitian ini, memberi petunjuk krusial: “Kesalahan metilasi bisa memicu penyakit. Pola metilasi COVID-19 mungkin menjadi kunci memahami asalnya.”
Apa Artinya bagi Kita?
Studi ini membuka pintu untuk memahami pandemi dari sudut baru. Meski belum final, temuan ini mengingatkan kita bahwa alam masih menyimpan banyak rahasia.
Kolaborasi sains dengan teknologi AI bisa menjadi senjata ampuh mengungkap rahasia -rahasia itu. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Upaya Menguak Asal-Usul COVID-19 dengan Teknologi AI
Writer | : Faizal R Arief |
Editor | : Faizal R Arief |